Tulisan ini saya buat untuk memberi gambaran dan membantah mereka yang menuduh jelek ex j**** dengan tuduhan jelek bahkan ada yang dusta berdasarkan apa yang dialami penulis. semoga saja ada manfaat yang bisa diambil. barokallohu fiikum.
Apakah akhwat yang keluar dari **** menuju ke manhaj salaf dilabeli dengan memakai cadar?
Al-Bukhari berkata: Bab: Al-’Ilmu qablal Qaul Wal ‘Amal (Berilmu sebelum berkata dan berbuat). Dalilnya adalah firman Allah : “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada ilah (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. 47:19) Maka ilmu itu didahulukan sebelum ucapan dan amal perbuatan.
Perkataan penulis “Al-Bukhary berkata: -yakni dalam Kitab Al-’Ilmi dalam Shahih-nya- Bab: Al-’Ilmu qablal Qauli Wal ‘Amal, artinya berilmu sebelum berkata dan berbuat.
Kata Baab dibaca “baabun” bertanwin karena tidak diidhofahkan. Al-ilmu: Mubtada’ dan perkataan: “Qablal qauli…dst” adalah khabar Mubtada’. Maknanya bahwa perkataan dan perbuatan manusia tidak ada nilainya dalam pandangan syari’at kecuali jika berlandaskan dengan ilmu. Berarti ilmu merupakan syarat sahnya suatu perkataan dan perbuatan.
Perkataan penulis “Dan Dalilnya” ini adalah perkataan Al-Bukhary. Dalam kitab shahihnya beliau mengatakan:
بابٌ : العلم قبل القول والعمل لقول الله تعالى
“Bab: Al-’IImu qablal Qauli Wal ‘Amal, liqaulillah Ta’ala” [Lihat Shahih Bukhary (1 / 159-Al-Fath)]
Artinya Bab: Berilmu sebelum berkata dan berbuat, dasamya adalah firman Allah Ta’ala:…” Namun Syaikh mengibaratkan dengan mengatakan dan dalilnya agar kalimatnya lebih jelas.
Perkataan penulis, Firman Allah Ta’ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إلاَّ اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” [QS. Muhammad ayat 19.] Allah memulainya dengan ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.
Ini juga perkataan Imam Al-Bukhary, namun dalam shahihnya hanya termaktub ([فبدأ بالعلمِ] fa bada-a bil ilmi) tidak terdapat kalimat ( [قبلَ القولِ والعملِ] qabla qauli wal ‘amal). Kemungkinan kalimat ( [قبلَ القولِ والعملِ] qabla qauli wal ‘amal) adalah ucapan Syeikh Muhammad Bin Abdul Wahab atau ucapan Imam Al-Bukhary yang ada dalam naskah lain.
Dan Firman-Nya: “فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إلاَّ اللَّهُ” ditujukan kepada Rasulullah dan juga mencakup seluruh umat. Ini merupakan perintah untuk berilmu. Firman-Nya: “وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ” merupakan perintah untuk beramal. Sejumlah ulama salaf menggunakan ayat ini sebagai dalil tentang fadhilah (Keutamaan) ilmu.
Abu Nu’aim mencantumkan dalam bukunya Al-Hilyah dari Sufyan Bin ‘Uyainah bahwa beliau ditanya tentang fadhilah ilmu, beliau menjawab: “Tidakkah engkau mendengar Firman Allah ketika memulai ayat ”فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إلاَّ اللَّهُ” kemudian Dia memerintahkan untuk beramal dengan firman-Nya: “وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ”.” [Hilyatul Auliya' (8/305).]
Bentuk pengambilan dalil dari ayat ini tentang keistimewaan ilmu adalah bahwa Allah Ta’ala memulai Firman-Nya dengan ilmu dan menyuruh Nabi-Nya agar memulai dengan ilmu sebelum memerintahkan untuk beramal. Hal ini menunjukkan kepada kita dua perkara:
• Pertama: Tentang fadhilah ilmu.
• Kedua: ilmu lebih didahulukan daripada amal.
Sumber : Syarah 3 Landasan Utama karya Abdullah bin Shalih Al-Fauzan, At-Tibyan Solo.
Maka orang lain tidak bisa memberi label pada seseorang yang keluar dari **** salah ketika mereka tidak bercadar atau belum bercadar dan sejenisnya. Hal ini dikarenakan, tidak ada yang bisa memastikan apakah orang tersebut berpegangan pada wajibnya cadar, ataukah pada hukum yang lain (Klik Disini) ataukah ilmunya belum sampai kesitu.
Sebab semua yang kita pakai seharusnya ada dasarnya. Kenapa memakai jilbab, kenapa pakai kaos kaki, kenapa harus memakai cadar, kenapa saya tidak makai cadar dan lain-lain. Segalanya haruslah berdasarkan dalil-dalil dari Qur’an dan Hadits.
Saya perlu sedikit menceritakan apa yang saya alami sebelum ini.
Sekitar tahun 2007 an, saya begitu senang melihat orang yang memakai jubah. Saya merasa, apa yang mereka pakai tidak ribet. Pakai jubah langsung dengan rok, tidak perlu pakai lagi dua kali jenjang, baju dulu, baru rok dulu, ribetnya(merujuk pada prinsip saya yang sangat suka pada hal yang simple). Beda dengan yang saya gunakan, kaos oblong, celana jins (waktu itu pemahaman saya, rok memang dianjurkan di dalam golongan saya, namun celana gombrang dengan baju menutup bagian belakang tubuh adalah tidak mengapa. Saya berpendapat bahwa, baju saya yang kaos ini besar dan celana jins, tidak ketat (bagi saya waktu itu), dan saya juga masih jama’ah, saya kan masih sambung. Jadi tidaklah mengherankan kalau teman-teman J****m pun banyak yang berpakaian seperti saya, bahkan ada yang lebih ketat, padahal pada MT, ampuni hambaMu dahulu ya Alloh).
Berawal dari senangnya saya melihat dan merasa tidak ribetnya pakaian itu, saya mulai bertanya kepada teman akhwat dari *T tentang jubahnya, mulai dari modelnya, ukurannya, warnanya, ongkos jahitnya, sampai siapa tukang jahitnya. Alhasil saya mulai membeli kain hitam 2,5 m, trus biru mendekati tua 2,5 m, merah tua 2,5 m dan warna biru dongker dengan ukuran yang sama.
Setelah berdiskusi dengan ummahat *KS yang menjadi penjahit saya, saya pun mulai menggambar model yang saya inginkan. Beberapa model cantik yang sempat saya pikirkan. Saya tidak ingin memakai jubah yang modelnya jelek. Saya mau yang nyaman dan modis tapi tetap syar’i dan tidak kampungan. (batin ku saat itu).
5 buah jubah awalku, satu bermodel baju kimono dengan tali besar berwarna pink di belakangnya, satu lagi jubah biasa dengan blis jahitan putih 3 jejer di bagian samping dan bawah, trus yang satu model biasa dengan tangan yang terlipit diujungnya.
Ketika jubah saya sudah jadi, saya masih ragu memakainya. Mungkin shock terapi karena sesuatu hal yang baru buat saya. waktu itu bertepatan dengan mau ke Aceh ada lomba MTQ tingkat mahasiswa. Alhasil di hari pertama mau ke bandara itulah saya memutuskan untuk memakai jubah. Dan berharap dalam hati, mudah-mudahan jubah ini tidak saya lepas seperti apa yang dibilang orang, habis pakai, dilepas lagi. Soalnya ada seorang mubalighot yang habis pakai, terus ada seseorang yang memberitahu saya, kalau mubalighot itu tidak pakai jubah lagi, karena dilarang kakaknya, katanya terpengaruh salafy kalau pakai jubah. Hem.
Jreng …. Saya pakai jubah hitam dengan jilbab ala *KS yang berwarna hitam putih. Teman-teman saya sempat, lho…. K **** yah? Me: senyum-senyum tanda tak mampu, he he he.
Note: Sekitar beberapa saat sebelum jubah saya jadi, saya mulai diperkenalkan dengan blog ex J***** oleh seorang MT bernama dengan inisial I. Awalnya sih, komen saya lumayan panas dalam hati. Saya diskusi panjang lebar dengan I memperkuat pemahaman saya terhadap j****. I pun dengan tenang membenarkan saya, namun memberi saya pandangan2 pertanyaan yang membuat saya berpikir hampir di tiap malam. Sampai akhirnya I pelan-pelan memberi pengarahan pada saya memberi saya analogi, menyarankan saya langsung untuk membaca dengan hati yang tenang semua blog-blog ex. Sebuah blog yang membongkar penyembunyian kitab mukhtasor pun saya baca baik-baik. Hem, hadits dhoif, hadits maudhu yang dipakai. Tidak ittiba’nya mereka pada Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam. Bolehnya al wijadah bagi muslim. Banyak kitab yang tidak dikenal j**** karena dianggap kitab karangan yang tidak boleh dibaca, seperti kitab al muwatho’ punya imam malik. Wah ternyata imam-imam itu bukan ahlu bid’ah seperti yang diajarkan guru saya di j****. Ternyata mereka ahlusunnah. Ditambah di masjidil harom yang jadi imam bukan orang j****. Ternyata disana ulama diketahui dan tidak bersembunyi seperti yang dihembuskan di telinga-telinga kami. Akhirnya membuat hati saya seakan takut dan tidak mengerti. Cukup lama. Sampai sekitar setengah tahun, akhirnya saya mengeluarkan hati saya dari golongan itu meski jasad saya masih sambung.
Sekitar beberapa saat kemudian, saya diajak ketemuan dengan seorang mubalighot, saya langsung ke TKP. Begitu turun dari angkot, saya cukup kaget dibuatnya. Lho, mba ini juga pakai jubah seperti saya. jantung saya berdegub. Maklum tahun itu di kota saya, yang memakai jubah di j***** boleh dibilang zero. Jadi pas liat akhwat yang pakai jubah plus kaos kaki seperti saya otomatis saya heran. Aduh, gimana nih…. Ada sama-samaku. He he…
Ternyata kami berdua adalah mubalighot yang akhirnya hijrah ke manhaj salaf. Alhamdulillah.
Setelah memakai jubah dan kaos kaki, saya sempat berkata dalam hati ketika bertemu atau melihat orang bercadar. (me inside: aduh, nda panas apa pakaian seperti itu? Saya biarlah segini sudah cukup besar jilbab saya, nda mau terlalu over. Biasanya saya suka memakai jilbab segi empat dengan memanjangkannya sampai menutupi bagian belakang tubuh, mendekati lutut belakang).
Pernah pula ketemu jilbab yang agak besar, me inside: ah, segini seperti punya saya cukup, tidak tampak lekuk tubuh.
Pernah pula ketemu akhwat yang jilbab besar selutut dan jilbab dalamnya sebesar atau sedikit lebih besar dengan jilbab kaos yang saya pakai, saya pun dalam hati: subhanalloh…… besar sekali jilbab dalamnya. Mirip punya saya yang luar ini.
Ketika saya ketemu teman yang mubalighot tadi itu, kami sempat yang: ukh biar kita gini saja jilbabnya di, gak usah terlalu panjang…. Iya.
Lihat bagaimana kami berpendapat? Kenapa kami berpikir seperti itu? Karena ilmu belum sampai kepada kami. Maka tidak ada judgement yang ditorehkan oleh seseorang kepada mereka yang ex bagi j**** yang mau berpikir-pikir.
Hem… tidak lama saya sering mendownload kitab2 terjemahan salaf, tulisan ulama, semisal syaikh Nashiruddin Al Albani, kemudian ulama-ulama lain yang waktu itu saya belum hapal namanya.
Setelah membaca beberapa, aduh, ternyata jilbab itu harus luas dan longgar. Bahkan harus ada dalamannya, yang disebut dengan khimar. Bahkan ada yang menulis wajibnya cadar (DOWNLOAD DISINI PENJELASANNYA). Saya akan kutipkan satu dalilnya dari sumber lain:
Aduh, makin lama, saya makin berpikir. Aduh saya selama ini ternyata belum berilmu tentang ini. Akhirnya, saya bertekad untuk menjahit jilbab yang agak besar. Ukurannya baru 2 meter. Yang hanya menutupi tangan saya.
Terlaksananya cukup lama, karena saya harus cari info kain apa yang tidak panas, dan bagus buat jilbab dan alasan lain yang sekarang saya tidak begitu ingat. Hendaknya seorang j**** tidak menghukumi akhwat ex dengan perkataan yang menghukumi pakaian. Karena meski pemahaman sudah kearah pakaian yang syar’i terkadang kami butuh waktu untuk mempertimbangkan, apa kata kalian, apa kata keluarga dan apa kata orang tua, termasuk bagaimana kami harus mengumpulkan uang sendiri untuk membeli kain-kain panjang kami. Kami harus berdoa untuk ini. Kami harus berjuang untuk ini. Dan bagi saya, perjuangan mencapai cara berpakaian yang syar’i tidaklah mudah. Ada begitu banyak hambatan yang kami temui terkait dengan orang tua. Sungguh hal ini tidaklah mudah. Jadi jangan hukumi kami dengan sesuatu yang kalian tidak ketahui bathinnya. Jangan kalian ucapkan perkataan yang seolah-olah kalian mengetahui apa yang kami pikirkan. Karena sesungguhnya untuk memustuskan keluar pun kami harus berperang dengan diri, jiwa dan perasaan kami. Ketahuilah itu saudaraku.
Beberapa saat kemudian, saya sudah berhasil mempunyai jilbab besar. Tapi saya masih berpikir-pikir kapan yah saya pakai?
Saya ini termasuk orang yang dag dig dug kalau memakai sesuatu yang baru. Ditamabh di j**** hal ini terbilang aneh. Jadi hal ini juga salah satu penghalang buat kami.
Suatu sore, saya sedang berada di tempat ponakan yang j****. Tiba-tiba mubalighot tadi ngajak ketemuan. Trus saya bilang lah pada ponakan, ‘bagaimana ini, saya mau keluar, jilbab ku basah’. Trus ponakan: pakai saja itu yang besar (kebetulan jilbab besar 2 meterku sudah saya setrika dan saya gantung di pojok kamar ponakan saya itu). Katanya sambil tertawa. Me: iya dih… tapi kalau saya sudah pakai ini, saya harus mi pakai yang begini terus, masa habis pakai yang besar trus pakai yang kecil lagi. Ucap ku saat itu sambil tersenyum padanya. Akhirnya sejak saat itu saya pakai yang 2 meter. Alhamdulilah.
Sejak saat itu, saya mulai mencicil untuk memiliki jilbab yang lebih besar. Sedikit-sedikit perasaan saya malu menggunakan yang 2 meter ini, batinku. Suatu saat ummahat tempat saya menjahit menawarkan kain yang cantik. Beberapa pilihan warna tersedia. Saya memilih yang merah tua, dan coklat. Sepasang jubah dengan jilbab besar selutut lebih. Setelah jadi, senangnya hati saya. saya memakainya dengan perasaan yang tenang dan nyaman. Subhanalloh. Ini yang saya bilang dulu tidak ingin saya pakai. Saya bersyukur dulu saya tidak mengumpat dan mengeluarkan apa yang saya rasakan di hati. Saya cukup menyesal ketika saya teringat bahwa hal itu pernah terbersit di dalam hati.
Tapi mungkin saja beberapa kemudahan diantara kesulitan saya memakai ini dikarenakan saya jauh dari orang tua yang j****. Kalau pulang kampung biasanya saya masih pakai yang 2 meter. Entahlah apa perasaan saya yang seperti itu akan diampuni oleh Allah. Tetapi yang jelas. Sikap kepada ortu haruslah pelan-pelan dan dengan cara yang baik. Saat itu, itu yang saya amalkan. Saya tidak mau membuat mereka shock dengan jilbab besar saya yang di j**** itu terlihat aneh saat itu. Entah kalau sekarang. Wallohu a’lam.
Sampai waktu yang terjadi saya masih belum ada niat memakai dan mempunyai yang berwarna hitam. Saya membatin. Rasanya yang hitam panas dan gerah saya lihat. Suatu saat, tiba- tiba saja saya membaca warna pakaian yang disunnahkan dan dianjurkan. Bukan berarti warna lain tidak boleh. Dan hal ini didukung dengan persyaratan prajabatan. Ketika mau prajabatan, kami diharuskan menggunakan jilbab hitam dan putih. Kebetulan saat itu, saya belum punya yang hitam, akhirnya saya pun meminta umahat menjahitkan saya yang hitam. Dia menawarkan dengan jubahnya dengan jenis kain sutra cina. Dari pengalaman saya, sutra cina ini kainnya halus, dingin dan adem serta nyaman sangat. Saya pun mengangguk.
Ketika memakai jubah dan jilbab itu, saya merasa teduh, tidak ada perasaan panas seperti yang saya lihat dulu ketika memandang wanita berjubah hitam dengan jilbab hitam besar. Subahnalloh. Kenapa begitu terasa keteduhan ini?
Pengalaman ini tidak berhenti sampai disini. Karena ada satu ilmu yang telah sampai kepadaku dan aku berpegang padanya. Yaitu wajibnya menutup wajah. (untuk yang satu ini, ada pula ulama yang mengatakan bahwa ini sunnah, ada yang menganjurkan, dan ada yang mewajibkan). Masing-masing dengan dalil-dalil yang ada. Jadi bukan hanya asal berpendapat saja. Sebagai tholabul ilm kita tidak boleh menghukumi salah orang yang berbeda pendapat dengan kita ketika mereka juga punya dalil. Memiliki pemahaman yang seperti ini, bagi saya agak susah awalnya. Alhamdulilllah melalui ta’lim saya mendapatkan bahwa hal-hal yang masih dalam ranah ikhtilaf, maka kita yang tidak berilmu sebaiknya berdiam diri dan tidak masuk didalamnya. Adapun ketika kita berpegang pada pendapat ulama tertentu, maka tidaklah boleh menyalahkan yang lain. Yang ahsan bagi pencari ilmu adalah mencari ilmu, masih begitu banyak ilmu yang belum saya punya, termasuk bahasa arab, de el el.
Suatu saat ketika saya dan mubalighot teman saya yang kebetulan Alhamdulillah, kami berdua sudah menggunakan jilbab besar bercakap-cakap tentang cadar. Ukh, kapan yah kita bercadar? Wallohu a’lam. Dalil yang mewajibkan cukup kuat. Ditambah hati saya juga condong ke pendapat ini. Kami merasa demikian takut. Ukh… semoga saja sebelum kita meninggal kita sudah bercadar. Iya ukh. Aamiiiiiin. Supaya kelak di hadapan Allah kita tidak ditanya kenapa tidak bercadar padahal berpegang pada pendapat ini. Mau bilang apa kita ukh? Na’am. Hiks hiks hiks.
Suatu ketika dengan tema yang sama, ukh, insyaAlloh kalau sudah walimah saya mau bercadar. Na’am, saya juga ukh, semoga kita dimudahkan oleh Allah. Mudah-mudahan walimahnya bukan dengan j****. Aamiiiiiin.
Dan percakapn lain sejenis yang terjadi antara saya dan teman ex itu terjadi sering kali baik secara langsung maupun lewat sms. Kami takut. Sampai kami pun seperti beberapa akhwat lain, menunduk ketika ada ikhwa. Menutup wajah ketika melewati tempat yang ada ikhwahnya. Dan kelakuan-kelakuan lain yang membuatku kami sebenarnya risih dengan terlihatnya wajah ini.
Dan Alhamdulillah. Sebuah langkah awal yang baik. Setelah orang tua terbiasa dengan 2 meter, alhamdulillah ketika pulang kampungpun saya sudah bisa memakai yang lebih panjang...... dan setelah saya walimah... saya mulai menerapkan apa yang menjadi pemahaman saya terhadap aurat dengan bantuan dan dukungan zaujii.
Wallohu a'lam
Penulis blog: seorang ex MT j**** yang hijrah ke manhaj salaf
Al-Bukhari berkata: Bab: Al-’Ilmu qablal Qaul Wal ‘Amal (Berilmu sebelum berkata dan berbuat). Dalilnya adalah firman Allah : “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada ilah (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. 47:19) Maka ilmu itu didahulukan sebelum ucapan dan amal perbuatan.
Perkataan penulis “Al-Bukhary berkata: -yakni dalam Kitab Al-’Ilmi dalam Shahih-nya- Bab: Al-’Ilmu qablal Qauli Wal ‘Amal, artinya berilmu sebelum berkata dan berbuat.
Kata Baab dibaca “baabun” bertanwin karena tidak diidhofahkan. Al-ilmu: Mubtada’ dan perkataan: “Qablal qauli…dst” adalah khabar Mubtada’. Maknanya bahwa perkataan dan perbuatan manusia tidak ada nilainya dalam pandangan syari’at kecuali jika berlandaskan dengan ilmu. Berarti ilmu merupakan syarat sahnya suatu perkataan dan perbuatan.
Perkataan penulis “Dan Dalilnya” ini adalah perkataan Al-Bukhary. Dalam kitab shahihnya beliau mengatakan:
بابٌ : العلم قبل القول والعمل لقول الله تعالى
“Bab: Al-’IImu qablal Qauli Wal ‘Amal, liqaulillah Ta’ala” [Lihat Shahih Bukhary (1 / 159-Al-Fath)]
Artinya Bab: Berilmu sebelum berkata dan berbuat, dasamya adalah firman Allah Ta’ala:…” Namun Syaikh mengibaratkan dengan mengatakan dan dalilnya agar kalimatnya lebih jelas.
Perkataan penulis, Firman Allah Ta’ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إلاَّ اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” [QS. Muhammad ayat 19.] Allah memulainya dengan ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.
Ini juga perkataan Imam Al-Bukhary, namun dalam shahihnya hanya termaktub ([فبدأ بالعلمِ] fa bada-a bil ilmi) tidak terdapat kalimat ( [قبلَ القولِ والعملِ] qabla qauli wal ‘amal). Kemungkinan kalimat ( [قبلَ القولِ والعملِ] qabla qauli wal ‘amal) adalah ucapan Syeikh Muhammad Bin Abdul Wahab atau ucapan Imam Al-Bukhary yang ada dalam naskah lain.
Dan Firman-Nya: “فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إلاَّ اللَّهُ” ditujukan kepada Rasulullah dan juga mencakup seluruh umat. Ini merupakan perintah untuk berilmu. Firman-Nya: “وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ” merupakan perintah untuk beramal. Sejumlah ulama salaf menggunakan ayat ini sebagai dalil tentang fadhilah (Keutamaan) ilmu.
Abu Nu’aim mencantumkan dalam bukunya Al-Hilyah dari Sufyan Bin ‘Uyainah bahwa beliau ditanya tentang fadhilah ilmu, beliau menjawab: “Tidakkah engkau mendengar Firman Allah ketika memulai ayat ”فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إلاَّ اللَّهُ” kemudian Dia memerintahkan untuk beramal dengan firman-Nya: “وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ”.” [Hilyatul Auliya' (8/305).]
Bentuk pengambilan dalil dari ayat ini tentang keistimewaan ilmu adalah bahwa Allah Ta’ala memulai Firman-Nya dengan ilmu dan menyuruh Nabi-Nya agar memulai dengan ilmu sebelum memerintahkan untuk beramal. Hal ini menunjukkan kepada kita dua perkara:
• Pertama: Tentang fadhilah ilmu.
• Kedua: ilmu lebih didahulukan daripada amal.
Sumber : Syarah 3 Landasan Utama karya Abdullah bin Shalih Al-Fauzan, At-Tibyan Solo.
Maka orang lain tidak bisa memberi label pada seseorang yang keluar dari **** salah ketika mereka tidak bercadar atau belum bercadar dan sejenisnya. Hal ini dikarenakan, tidak ada yang bisa memastikan apakah orang tersebut berpegangan pada wajibnya cadar, ataukah pada hukum yang lain (Klik Disini) ataukah ilmunya belum sampai kesitu.
Sebab semua yang kita pakai seharusnya ada dasarnya. Kenapa memakai jilbab, kenapa pakai kaos kaki, kenapa harus memakai cadar, kenapa saya tidak makai cadar dan lain-lain. Segalanya haruslah berdasarkan dalil-dalil dari Qur’an dan Hadits.
Saya perlu sedikit menceritakan apa yang saya alami sebelum ini.
Sekitar tahun 2007 an, saya begitu senang melihat orang yang memakai jubah. Saya merasa, apa yang mereka pakai tidak ribet. Pakai jubah langsung dengan rok, tidak perlu pakai lagi dua kali jenjang, baju dulu, baru rok dulu, ribetnya(merujuk pada prinsip saya yang sangat suka pada hal yang simple). Beda dengan yang saya gunakan, kaos oblong, celana jins (waktu itu pemahaman saya, rok memang dianjurkan di dalam golongan saya, namun celana gombrang dengan baju menutup bagian belakang tubuh adalah tidak mengapa. Saya berpendapat bahwa, baju saya yang kaos ini besar dan celana jins, tidak ketat (bagi saya waktu itu), dan saya juga masih jama’ah, saya kan masih sambung. Jadi tidaklah mengherankan kalau teman-teman J****m pun banyak yang berpakaian seperti saya, bahkan ada yang lebih ketat, padahal pada MT, ampuni hambaMu dahulu ya Alloh).
Berawal dari senangnya saya melihat dan merasa tidak ribetnya pakaian itu, saya mulai bertanya kepada teman akhwat dari *T tentang jubahnya, mulai dari modelnya, ukurannya, warnanya, ongkos jahitnya, sampai siapa tukang jahitnya. Alhasil saya mulai membeli kain hitam 2,5 m, trus biru mendekati tua 2,5 m, merah tua 2,5 m dan warna biru dongker dengan ukuran yang sama.
Setelah berdiskusi dengan ummahat *KS yang menjadi penjahit saya, saya pun mulai menggambar model yang saya inginkan. Beberapa model cantik yang sempat saya pikirkan. Saya tidak ingin memakai jubah yang modelnya jelek. Saya mau yang nyaman dan modis tapi tetap syar’i dan tidak kampungan. (batin ku saat itu).
5 buah jubah awalku, satu bermodel baju kimono dengan tali besar berwarna pink di belakangnya, satu lagi jubah biasa dengan blis jahitan putih 3 jejer di bagian samping dan bawah, trus yang satu model biasa dengan tangan yang terlipit diujungnya.
Ketika jubah saya sudah jadi, saya masih ragu memakainya. Mungkin shock terapi karena sesuatu hal yang baru buat saya. waktu itu bertepatan dengan mau ke Aceh ada lomba MTQ tingkat mahasiswa. Alhasil di hari pertama mau ke bandara itulah saya memutuskan untuk memakai jubah. Dan berharap dalam hati, mudah-mudahan jubah ini tidak saya lepas seperti apa yang dibilang orang, habis pakai, dilepas lagi. Soalnya ada seorang mubalighot yang habis pakai, terus ada seseorang yang memberitahu saya, kalau mubalighot itu tidak pakai jubah lagi, karena dilarang kakaknya, katanya terpengaruh salafy kalau pakai jubah. Hem.
Jreng …. Saya pakai jubah hitam dengan jilbab ala *KS yang berwarna hitam putih. Teman-teman saya sempat, lho…. K **** yah? Me: senyum-senyum tanda tak mampu, he he he.
Note: Sekitar beberapa saat sebelum jubah saya jadi, saya mulai diperkenalkan dengan blog ex J***** oleh seorang MT bernama dengan inisial I. Awalnya sih, komen saya lumayan panas dalam hati. Saya diskusi panjang lebar dengan I memperkuat pemahaman saya terhadap j****. I pun dengan tenang membenarkan saya, namun memberi saya pandangan2 pertanyaan yang membuat saya berpikir hampir di tiap malam. Sampai akhirnya I pelan-pelan memberi pengarahan pada saya memberi saya analogi, menyarankan saya langsung untuk membaca dengan hati yang tenang semua blog-blog ex. Sebuah blog yang membongkar penyembunyian kitab mukhtasor pun saya baca baik-baik. Hem, hadits dhoif, hadits maudhu yang dipakai. Tidak ittiba’nya mereka pada Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam. Bolehnya al wijadah bagi muslim. Banyak kitab yang tidak dikenal j**** karena dianggap kitab karangan yang tidak boleh dibaca, seperti kitab al muwatho’ punya imam malik. Wah ternyata imam-imam itu bukan ahlu bid’ah seperti yang diajarkan guru saya di j****. Ternyata mereka ahlusunnah. Ditambah di masjidil harom yang jadi imam bukan orang j****. Ternyata disana ulama diketahui dan tidak bersembunyi seperti yang dihembuskan di telinga-telinga kami. Akhirnya membuat hati saya seakan takut dan tidak mengerti. Cukup lama. Sampai sekitar setengah tahun, akhirnya saya mengeluarkan hati saya dari golongan itu meski jasad saya masih sambung.
Sekitar beberapa saat kemudian, saya diajak ketemuan dengan seorang mubalighot, saya langsung ke TKP. Begitu turun dari angkot, saya cukup kaget dibuatnya. Lho, mba ini juga pakai jubah seperti saya. jantung saya berdegub. Maklum tahun itu di kota saya, yang memakai jubah di j***** boleh dibilang zero. Jadi pas liat akhwat yang pakai jubah plus kaos kaki seperti saya otomatis saya heran. Aduh, gimana nih…. Ada sama-samaku. He he…
Ternyata kami berdua adalah mubalighot yang akhirnya hijrah ke manhaj salaf. Alhamdulillah.
Setelah memakai jubah dan kaos kaki, saya sempat berkata dalam hati ketika bertemu atau melihat orang bercadar. (me inside: aduh, nda panas apa pakaian seperti itu? Saya biarlah segini sudah cukup besar jilbab saya, nda mau terlalu over. Biasanya saya suka memakai jilbab segi empat dengan memanjangkannya sampai menutupi bagian belakang tubuh, mendekati lutut belakang).
Pernah pula ketemu jilbab yang agak besar, me inside: ah, segini seperti punya saya cukup, tidak tampak lekuk tubuh.
Pernah pula ketemu akhwat yang jilbab besar selutut dan jilbab dalamnya sebesar atau sedikit lebih besar dengan jilbab kaos yang saya pakai, saya pun dalam hati: subhanalloh…… besar sekali jilbab dalamnya. Mirip punya saya yang luar ini.
Ketika saya ketemu teman yang mubalighot tadi itu, kami sempat yang: ukh biar kita gini saja jilbabnya di, gak usah terlalu panjang…. Iya.
Lihat bagaimana kami berpendapat? Kenapa kami berpikir seperti itu? Karena ilmu belum sampai kepada kami. Maka tidak ada judgement yang ditorehkan oleh seseorang kepada mereka yang ex bagi j**** yang mau berpikir-pikir.
Hem… tidak lama saya sering mendownload kitab2 terjemahan salaf, tulisan ulama, semisal syaikh Nashiruddin Al Albani, kemudian ulama-ulama lain yang waktu itu saya belum hapal namanya.
Setelah membaca beberapa, aduh, ternyata jilbab itu harus luas dan longgar. Bahkan harus ada dalamannya, yang disebut dengan khimar. Bahkan ada yang menulis wajibnya cadar (DOWNLOAD DISINI PENJELASANNYA). Saya akan kutipkan satu dalilnya dari sumber lain:
Asma’ binti Abi Bakar berkata: “Kami menutupi wajah kami dari laki-laki, dan kami menyisiri rambut sebelum itu di saat ihram.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Ini menunjukkan bahwa menutup wajah wanita sudah merupakan kebiasaan para wanita sahabat. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 68-69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).Aduh, makin lama, saya makin berpikir. Aduh saya selama ini ternyata belum berilmu tentang ini. Akhirnya, saya bertekad untuk menjahit jilbab yang agak besar. Ukurannya baru 2 meter. Yang hanya menutupi tangan saya.
Terlaksananya cukup lama, karena saya harus cari info kain apa yang tidak panas, dan bagus buat jilbab dan alasan lain yang sekarang saya tidak begitu ingat. Hendaknya seorang j**** tidak menghukumi akhwat ex dengan perkataan yang menghukumi pakaian. Karena meski pemahaman sudah kearah pakaian yang syar’i terkadang kami butuh waktu untuk mempertimbangkan, apa kata kalian, apa kata keluarga dan apa kata orang tua, termasuk bagaimana kami harus mengumpulkan uang sendiri untuk membeli kain-kain panjang kami. Kami harus berdoa untuk ini. Kami harus berjuang untuk ini. Dan bagi saya, perjuangan mencapai cara berpakaian yang syar’i tidaklah mudah. Ada begitu banyak hambatan yang kami temui terkait dengan orang tua. Sungguh hal ini tidaklah mudah. Jadi jangan hukumi kami dengan sesuatu yang kalian tidak ketahui bathinnya. Jangan kalian ucapkan perkataan yang seolah-olah kalian mengetahui apa yang kami pikirkan. Karena sesungguhnya untuk memustuskan keluar pun kami harus berperang dengan diri, jiwa dan perasaan kami. Ketahuilah itu saudaraku.
Beberapa saat kemudian, saya sudah berhasil mempunyai jilbab besar. Tapi saya masih berpikir-pikir kapan yah saya pakai?
Saya ini termasuk orang yang dag dig dug kalau memakai sesuatu yang baru. Ditamabh di j**** hal ini terbilang aneh. Jadi hal ini juga salah satu penghalang buat kami.
Suatu sore, saya sedang berada di tempat ponakan yang j****. Tiba-tiba mubalighot tadi ngajak ketemuan. Trus saya bilang lah pada ponakan, ‘bagaimana ini, saya mau keluar, jilbab ku basah’. Trus ponakan: pakai saja itu yang besar (kebetulan jilbab besar 2 meterku sudah saya setrika dan saya gantung di pojok kamar ponakan saya itu). Katanya sambil tertawa. Me: iya dih… tapi kalau saya sudah pakai ini, saya harus mi pakai yang begini terus, masa habis pakai yang besar trus pakai yang kecil lagi. Ucap ku saat itu sambil tersenyum padanya. Akhirnya sejak saat itu saya pakai yang 2 meter. Alhamdulilah.
Sejak saat itu, saya mulai mencicil untuk memiliki jilbab yang lebih besar. Sedikit-sedikit perasaan saya malu menggunakan yang 2 meter ini, batinku. Suatu saat ummahat tempat saya menjahit menawarkan kain yang cantik. Beberapa pilihan warna tersedia. Saya memilih yang merah tua, dan coklat. Sepasang jubah dengan jilbab besar selutut lebih. Setelah jadi, senangnya hati saya. saya memakainya dengan perasaan yang tenang dan nyaman. Subhanalloh. Ini yang saya bilang dulu tidak ingin saya pakai. Saya bersyukur dulu saya tidak mengumpat dan mengeluarkan apa yang saya rasakan di hati. Saya cukup menyesal ketika saya teringat bahwa hal itu pernah terbersit di dalam hati.
Tapi mungkin saja beberapa kemudahan diantara kesulitan saya memakai ini dikarenakan saya jauh dari orang tua yang j****. Kalau pulang kampung biasanya saya masih pakai yang 2 meter. Entahlah apa perasaan saya yang seperti itu akan diampuni oleh Allah. Tetapi yang jelas. Sikap kepada ortu haruslah pelan-pelan dan dengan cara yang baik. Saat itu, itu yang saya amalkan. Saya tidak mau membuat mereka shock dengan jilbab besar saya yang di j**** itu terlihat aneh saat itu. Entah kalau sekarang. Wallohu a’lam.
Sampai waktu yang terjadi saya masih belum ada niat memakai dan mempunyai yang berwarna hitam. Saya membatin. Rasanya yang hitam panas dan gerah saya lihat. Suatu saat, tiba- tiba saja saya membaca warna pakaian yang disunnahkan dan dianjurkan. Bukan berarti warna lain tidak boleh. Dan hal ini didukung dengan persyaratan prajabatan. Ketika mau prajabatan, kami diharuskan menggunakan jilbab hitam dan putih. Kebetulan saat itu, saya belum punya yang hitam, akhirnya saya pun meminta umahat menjahitkan saya yang hitam. Dia menawarkan dengan jubahnya dengan jenis kain sutra cina. Dari pengalaman saya, sutra cina ini kainnya halus, dingin dan adem serta nyaman sangat. Saya pun mengangguk.
Ketika memakai jubah dan jilbab itu, saya merasa teduh, tidak ada perasaan panas seperti yang saya lihat dulu ketika memandang wanita berjubah hitam dengan jilbab hitam besar. Subahnalloh. Kenapa begitu terasa keteduhan ini?
Pengalaman ini tidak berhenti sampai disini. Karena ada satu ilmu yang telah sampai kepadaku dan aku berpegang padanya. Yaitu wajibnya menutup wajah. (untuk yang satu ini, ada pula ulama yang mengatakan bahwa ini sunnah, ada yang menganjurkan, dan ada yang mewajibkan). Masing-masing dengan dalil-dalil yang ada. Jadi bukan hanya asal berpendapat saja. Sebagai tholabul ilm kita tidak boleh menghukumi salah orang yang berbeda pendapat dengan kita ketika mereka juga punya dalil. Memiliki pemahaman yang seperti ini, bagi saya agak susah awalnya. Alhamdulilllah melalui ta’lim saya mendapatkan bahwa hal-hal yang masih dalam ranah ikhtilaf, maka kita yang tidak berilmu sebaiknya berdiam diri dan tidak masuk didalamnya. Adapun ketika kita berpegang pada pendapat ulama tertentu, maka tidaklah boleh menyalahkan yang lain. Yang ahsan bagi pencari ilmu adalah mencari ilmu, masih begitu banyak ilmu yang belum saya punya, termasuk bahasa arab, de el el.
Suatu saat ketika saya dan mubalighot teman saya yang kebetulan Alhamdulillah, kami berdua sudah menggunakan jilbab besar bercakap-cakap tentang cadar. Ukh, kapan yah kita bercadar? Wallohu a’lam. Dalil yang mewajibkan cukup kuat. Ditambah hati saya juga condong ke pendapat ini. Kami merasa demikian takut. Ukh… semoga saja sebelum kita meninggal kita sudah bercadar. Iya ukh. Aamiiiiiin. Supaya kelak di hadapan Allah kita tidak ditanya kenapa tidak bercadar padahal berpegang pada pendapat ini. Mau bilang apa kita ukh? Na’am. Hiks hiks hiks.
Suatu ketika dengan tema yang sama, ukh, insyaAlloh kalau sudah walimah saya mau bercadar. Na’am, saya juga ukh, semoga kita dimudahkan oleh Allah. Mudah-mudahan walimahnya bukan dengan j****. Aamiiiiiin.
Dan percakapn lain sejenis yang terjadi antara saya dan teman ex itu terjadi sering kali baik secara langsung maupun lewat sms. Kami takut. Sampai kami pun seperti beberapa akhwat lain, menunduk ketika ada ikhwa. Menutup wajah ketika melewati tempat yang ada ikhwahnya. Dan kelakuan-kelakuan lain yang membuatku kami sebenarnya risih dengan terlihatnya wajah ini.
Dan Alhamdulillah. Sebuah langkah awal yang baik. Setelah orang tua terbiasa dengan 2 meter, alhamdulillah ketika pulang kampungpun saya sudah bisa memakai yang lebih panjang...... dan setelah saya walimah... saya mulai menerapkan apa yang menjadi pemahaman saya terhadap aurat dengan bantuan dan dukungan zaujii.
Wallohu a'lam
Penulis blog: seorang ex MT j**** yang hijrah ke manhaj salaf